Warga Tanimbar Kei Gelar Aksi Damai di DPRD Maluku Tenggara, Ketua DPRD Apresiasi Sikap Tertib dan Data yang Kuat
Langgur, Liputan 21.com— Puluhan warga dari Desa Tanimbar Kei, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, menggelar aksi damai di gedung DPRD Kabupaten Maluku Tenggara. Aksi tersebut bertujuan untuk menyampaikan aspirasi terkait penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kei Evav. Senin, 14/4/2025
Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tenggara, Stefanus Layan, dalam keterangannya menyampaikan apresiasi atas cara warga menyampaikan aspirasi mereka secara tertib dan berdasarkan data yang lengkap.
“Saya sangat mengapresiasi karena meskipun mereka datang dari kampung, tapi mereka mengikuti prosedur dengan baik. Mereka terlebih dahulu menyurati DPRD dan meminta audiensi resmi dengan pimpinan.
Awalnya saya pikir hanya perwakilan yang hadir, ternyata jumlah warga cukup banyak, sehingga kami putuskan untuk menerima mereka di ruang paripurna agar semuanya bisa ikut mendengar dan berdialog,” ujar Stefanus.
Ia juga menjelaskan bahwa warga datang membawa dokumen dan data yang jelas, termasuk salinan peta wilayah adat serta peraturan yang menjadi dasar keberatan mereka.
“Apa yang mereka sampaikan tidak sekadar opini, tetapi disertai bukti-bukti tertulis, termasuk peta dan pernyataan para raja yang pernah ditandatangani bersama. Ini yang menjadi nilai lebih dari aspirasi mereka,” tambahnya.
Menurut Stefanus, isu ini sudah bergulir sejak periode DPRD sebelumnya, namun masih menyisakan banyak persoalan dan penolakan dari berbagai pihak. Karena itu, DPRD akan menindaklanjuti aspirasi tersebut dengan menggelar rapat dengar pendapat bersama pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah daerah, raja-raja adat, dan tokoh masyarakat.
Isi Tuntutan Masyarakat Tanimbar Kei
Dalam surat resmi yang disampaikan ke DPRD, Lembaga Masyarakat Adat Tanimbar Kei menyatakan penolakan terhadap substansi Ranperda, khususnya dalam hal batas wilayah adat. Beberapa poin utama penolakan mereka antara lain:
1. Pelanggaran terhadap sejarah dan hak adat: Warga menilai Ranperda tidak mencerminkan fakta sejarah kepemilikan adat di Tanimbar Kei dan justru mengaburkan batas-batas petuanan yang telah diakui secara turun-temurun.
2. Pemetaan wilayah yang keliru: Dalam Ranperda, Pulau Witir dan Pulau Nuhu Ta dimasukkan dalam petuanan Rat Magrib Matwaer. Padahal kedua pulau tersebut sejak dahulu berada di bawah penguasaan adat Tanimbar Kei.
3. Potensi konflik horisontal: Mereka khawatir Ranperda ini dapat menimbulkan konflik antar komunitas adat di masa mendatang jika tidak segera dikoreksi.
4. Permintaan revisi Ranperda: Warga mendesak pemerintah daerah dan DPRD untuk merombak dan memperbaiki peta wilayah dalam Ranperda, dengan mempertimbangkan bukti sejarah dan pernyataan resmi dari para raja.
Stefanus Layan mengimbau seluruh masyarakat agar tetap menjaga ketertiban dan menghormati mekanisme yang ada dalam penyelesaian persoalan adat ini.
“Pembahasan ini terbuka, jadi masyarakat silakan mengikuti prosesnya. Mari kita kembalikan semua pada tatanan adat dan hukum yang berlaku, demi menjaga kerukunan di tanah Kei,” tutupnya. (Kef)
0 Komentar