Valentine belum lama berlalu. Namun, tak ada salahnya saya mencoba mengulas salah satu film romantis, La La Land.
La La Land sebuah kisah cinta modern yang realistis, namun tetap menghibur.
Bagi saya film musical Damien Chazelle ini diracik dengan ‘bumbu’ yang lengkap, selain menyuguhkan deretan lagu (soundtrack) yang apik, penonton juga dimanjakan oleh sinematografi yang memukau.
Anda tidak harus menyukai drama musikal atau jazz untuk jatuh hati pada La La Land. Meski mengusung genre musical dan romance, secara garis besar La La Land merupakan film untuk mereka yang berani bermimpi dan berusaha mewujudkan impian tersebut.
Film dibuka dengan tembang Another Day of Sun, sebuah lagu yang ceria lengkap dengan adegan penuh warna yang kontras dengan kemacetan jalan raya di Los Angeles. Dalam empat menit pertama, Chazelle telah mengisyaratkan nada film, kontradiksi antara manisnya mimpi dan getirnya realita yang hidup berdampingan.
La La Land mempertemukan Mia (Emma Stone) seorang calon aktris yang terjebak dalam lautan audisi dalam upayanya menembus dunia peran dengan, Sebastian atau Seb (Ryan Gosling), seorang pianis fanatik yang berjuang menyelamatkan jazz dengan mendirikan klub jazz.
Sebagai Seb, Ryan Gosling tidak hanya meyakinkan saya bahwa ia membenci segala jenis musik selain Jazz. Dia juga membuat saya percayaseolah ia seorang pianis profesional sungguhan.
Gosling tidak menggunakan hand double atau pengganti sepanjang film. Dalam sebuah wawancara, Gosling menyebut ia belajar selama tiga bulan penuh untuk menjadi Seb.
Film La La LandLa La Land sebuah kisah cinta modern yang realistis, namun tetap menghibur. (Screenshoot via Youtube/Lionsgate Movies)
Walau tak membawa pulang Academy Awards pada 2017 seperti lawan mainnya, keberhasilan Gosling memerankan karakter Seb yang terobsesi dengan jazz merupakan bagian besar yang menghidupkan La La Land.
Kontras dengan iklim subtropis LA, kisah Mia dan Seb berawal pada musim dingin yang terik. Terlepas dari awal yang menjengkelkan dan beberapa pertemuan banter yang jauh dari romantis, keduanya menemukan daya pikat di antara diskusi soal impian dan rasa frustrasi dalam meraih cita-cita masing-masing.
Seb menemukan seseorang itu, yang memahami perjuangannya di tengah lautan manusia LA yang menurutnya: “Memuja segalanya namun tak menghargai apapun.”
Mia yang berusaha memahami jazz ‘murni’ meski tak suka-suka amat dengan jazz mencuri hati Seb.
Tanpa bertele-tele, pada musim panas selanjutnya keduanya mulai memadu kasih. Seperti awal kisah cinta pada umumnya, transisi hidup Mia dan Seb indah dan dipenuhi tawa.
Berkat dorongan Seb, Mia akhirnya berhenti audisi. Daripada menunggu skrip yang tepat untuknya, Mia memutuskan untuk menulis dan memerankan drama solo buatannya.
Di sisi lain, Seb dihadapkan dengan realita akan kondisi hidupnya yang tidak ideal. Meski enggan, Seb memutuskan untuk mengambil tawaran menjadi bagian dari band dan membawakan lagu-lagu yang dibencinya demi membayar tagihan.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Mia dan Seb kian merenggang akibat bergesernya prioritas dan rutinitas mereka. Konflik pun mulai bermunculan dan komitmen keduanya mulai dipertanyakan kala keduanya terlalu sibuk untuk hadir mendukung langkah satu sama lain.
Lewat Mia dan Seb, La La Land mengeksplorasi arti komitmen dan cinta. Tidak hanya sebagai kekasih, namun juga terhadap hal yang benar-benar dicintai.
Selain itu, La La Land juga menjelajahi konsekuensi dari seluruh pilihan yang diambil di masa lalu.
Apa yang akan dilakukan jika Anda dihadapkan dengan kenyataan untuk memilih antara dua hal yang Anda cintai sepenuh hati?
Seb dan Mia adalah manifestasi dari realita bagi pemimpi di luar sana yang harus berkorban demi meraih mimpi mereka. Termasuk pula kompromi apa saja yang akan direlakan untuk mengejar ambisi pribadi.
La La Land berbeda dengan film Chazelle lainnya yang bernada gelap dan menegangkan seperti Whiplash. Sebagaimana judulnya, La La Land merupakan film ringan yang berhasil menarik saya dari realita dan segala permasalahanan selama jam jam penuh.
Walau tak menyabet gelar film terbaik pada Academy Award 2017 silam, untuk kategori production design dan sinematografi, La La Land memang pantas dinobatkan sebagai pemenang.
Berkat desain yang teliti, La La Land tak sekadar menjadi film yang dapat ditonton berulang-ulang sebagai hiburan. Ia juga membentuk efek nostalgia yang menjadi jiwa dari film.
Lewat detil seperti penekanan warna langit sore LA yang dramatis, tim production design La La Land berhasil membangun sentimentil tanpa berlebihan.
Meski drama musikal bukan salah satu genre favorit saya, saya menyukai La La Land dari awal hingga akhir.
Chazelle mengeksekusi akhir cerita yang tidak populer dengan apik dan membangun detail dan komposisi pro-kontra yang seimbang dalam menjustifikasi akhir kisah Mia dan Seb yang tidak cliché.
La La Land memantik sebuah pertanyaan yang hingga saat ini pun saya masih belum punya jawabannya: seberapa jauh saya akan berkorban demi meraih sebuah mimpi?