Tidaklah berlebihan bila menilai bahwa Friends bukan hanya sekadar serial komedi di televisi. Acara itu adalah sebuah legasi budaya, atau minimal teman bagi siapa pun yang mengalami gejolak hidup di usia 20-30-an. Semua itu ditangkap dengan apik lewat Friends: The Reunion.
Ketika kabar Friends: The Reunion akan digarap muncul pada 2019, saya sejujurnya membayangkan sebuah serial yang berisi kelanjutan kisah enam sekawan: Rachel Green (Jennifer Aniston), Ross Geller (David Schwimmer), Monica Geller (Courteney Cox), Chandler Bing (Matthew Perry), Joey Tribbiani (Matt LeBlanc) dan Phoebe Buffay (Lisa Kudrow).
Namun kondisi pandemi yang menyerang dan berbagai situasi maju-mundur produksi proyek ini berakhir dengan sebuah sesi kilas-balik dan semi-dokumenter satu jam 43 menit yang saya tak ingin atau pun bisa meminta lebih dari ini.
Sebagai seorang penonton yang entah-berapa-kali-binge watch serial ini, Friends: The Reunion adalah sebuah momen pelepas rindu yang pas.
Bayangan kisah kelanjutan enam sekawan memang tetap ada di dalam relung pikiran saya, tapi rasanya itu tak bisa menggantikan senyuman, tangis, hingga tawa yang saya alami sepanjang film ini berjalan.
Friends: The Reunion bukan sekadar menampilkan kembali berbagai adegan ikonis dalam serial Friends dan ditanggapi atau membahas cerita di baliknya.
Acara ini menampilkan apa yang selama ini dirasakan oleh penonton namun kurang diapresiasi secara semestinya, yaitu ketika Friends menyentuh jutaan orang di dunia melalui masa muda. Selain itu, keakraban enam pemeran yang tidak saling berhubungan darah tapi mereka lebih terikat hingga terasa lebih dari keluarga.
“Faktanya, tak ada yang mengalami yang kita lalui kecuali lima orang lainnya,” kata David Schwimmer.
“Jadi tidak ada orang di luar grup ini untuk bercerita. Kurasa itu menciptakan, tertanam di saraf kita, menjadikan kita seperti keluarga,” timpal Jennifer Aniston.
Berjalan selama 10 tahun dalam 236 episode, Friends sudah berulang kali disebut sebagai salah satu serial tersukses dan terbaik sepanjang masa. Acara ini disiarkan dalam belasan bahasa di puluhan negara dan miliaran kali diputar ulang di seluruh platform layanan streaming.
Namun itu hanyalah catatan statistik. Kesuksesan sesungguhnya dari acara ini adalah ketika melihat dampaknya bagi penonton juga penggemarnya, bahkan masyarakat secara luas.
Acara yang semula lahir dari ide sederhana, kemudian berkembang menjadi teman, penolong, keluarga, hingga sebuah rujukan bagi produk budaya setelahnya. Hal ini terlihat dari banyaknya seniman pop dunia yang terinspirasi dari serial ini, lebih tepatnya terinspirasi dari keunikan Phoebe Buffay. LOL.
Friends: The Reunion juga menggambarkan sedekat apa para bintang dan kru yang tak disiarkan dalam versi serial, mulai dari sesi tawa bersama hingga serangan cemas yang dialami Matthew Perry ketika lelucon Chandler Bing tak berhasil membuat penonton tertawa.
Untuk hal yang dialami pemeran Chandler Bing itu, saya merasa amat tersentuh dengan ketulusan Perry untuk menghadirkan lelucon sekaligus merasa sedih karenanya lantaran teringat akan depresi yang dialami mendiang Robin Williams.
Selayaknya reuni dengan teman ataupun mereka yang sempat mengisi kehidupan kita dengan kebahagiaan, acara ini seolah menjadi sesuatu yang tak disadari dibutuhkan seseorang untuk kembali merasakan kehangatan dalam relung, seperti saat bercengkerama dengan orang terdekat dan tersayang.
Hal itulah yang saya nilai sebagai keputusan cemerlang dalam menentukan konsep dari Friends: The Reunion. Saya yakin, tuntutan penggemar akan kelanjutan kisah enam sekawan begitu tinggi diterima oleh tim produksi. Namun keputusan berani yang ‘hanya’ membungkus sesi reuni seperti selayaknya “reuni” patut diapresiasi.
Untuk hal ini, Lisa Kudrow memberikan jawaban yang sangat tepat ketika ditanya oleh James Corden soal ide serial baru Friends. Sekaligus mengubur impian saya menyaksikan kisah kelanjutan mereka.
“Karena itu semua tergantung Marta dan David, dan saya pernah mendengar mereka berkata, dan saya sangat setuju, mereka mengakhiri acara dengan sangat baik,” kata Lisa Kudrow.
“Hidup semua orang sangat baik, dan mereka harus membongkar semua hal baik itu untuk bisa membuat kisah baru. Saya tidak mau akhir bahagia siapa pun dibongkar,” lanjutnya.