Jika kembali ke tahun 1999 dan awal tahun 2000-an, memang televisi masih menjadi pelarian bagi kita yang entah ingin berbuat apa. Maka dari itu, Lorong Waktu jadi teman setia sebagian umat Muslim di bulan suci Ramadan.
Kala itu, umumnya kita tidak bisa menunggu adzan maghrib sambil leluasa berselancar di internet, bercakap-cakap dengan teman sejawat, kekasih, atau asyik cuap-cuap di media sosial.
Televisi adalah pelarian sebagian dari kita sambil menunggu adzan Maghrib berkumandang. Dan saat itu Lorong Waktu menjadi magnet tontonan di jam-jam krusial tersebut.
Aksi Zidan (Jourast Jordy), bocah banyak omong yang menggemaskan, membuat Lorong Waktu menyenangkan untuk disaksikan. Kisahnya ringan, namun terselip dakwah di dalamnya.
Zidan yang usil dengan cermat disandingkan dengan tokoh Pak Haji Husin (Deddy Mizwar), orang tua bijak yang doyan marah-marah. Hubungan cinta-benci antara keduanya menjadi sajian yang menyenangkan.
Namun, yang lebih menarik dari pewatakan tersebut adalah bagaimana sinetron Lorong Waktu menghadirkan ide dasar perjalanan menembus waktu. Ya, sinetron Lorong Waktu bisa disebut sinetron dengan genre fiksi ilmiah atau sci-fi.
Tapi, kalau soal sci-fi sebetulnya Lorong Waktu kala itu ada di gerbong tren adaptasi sci-fi di sinetron keluarga, jadi tidak bisa juga dibilang ‘out of the box’.
Sebut saja sejumlah judul sinetron di masa itu, Anak Ajaib, Indra Keenam, Saras 008, hingga Panji Manusia Milenium, yang mengadaptasi konsep sci-fi dalam sinema layar kaca.
Namun, nyatanya konsep ‘time-travel’ lah yang membuat penulis naskah Lorong Waktu bisa pergi ke sana ke mari, membangun cerita tanpa terbatas ruang dan waktu.
Sinetron Lorong WaktuOpie Kumis dan Dicky Chandra dalam Sinetron Lorong Waktu (Foto: Tangkapan Layar Film Citra Sinema via Vidio)
Hal tersebut juga pernah dikatakan sang produser Deddy Mizwar. Dengan Lorong Waktu, ia bisa meminjam kisah-kisah legenda Indonesia untuk membungkus pesan moral yang ingin ia sampaikan melalui Lorong Waktu.
“Kita bisa bercerita tentang Malin Kundang dan Pangeran Diponegoro dari persektif kita. Apa yang ingin kita sampaikan pada masyarakat.” tuturnya beberapa waktu lalu pada CNNIndonesia.com.
“Malin Kundang kami kritisi, ya ibu janganlah cepat menyumpah, anak jangan durhaka lah, itu sebenarnya intinya. Superman yang juga ada, tidak bisa menebak cuaca ketika terbang karena ozon sudah bolong, bisa mengkritisi banyak hal.” lanjutnya.
Alat tersebut (Lorong Waktu) yang membuat penonton dibuat penasaran untuk mengetahui perjalanan ruang dan waktu apa lagi di episode selanjutnya. Jika dipikir-pikir, itu adalah ide brilian di masa itu (1999).
Sinetron Lorong Waktu juga untuk sebagian orang jadi sarana belajar agama dengan cara yang menyenangkan. Dengan petuah-petuah dari Pak Haji Husin, mau tidak mau Lorong Waktu harus disebut sebagai media dakwah.
Menjadi amat menarik memang ketika dakwah dibalut dengan komedi, nilai-nilai moral bisa terpatri tanpa harus menjadi pendengar yang serius, apalagi menjadi pendengar yang ketakutan.
Di luar Lorong Waktu, ada saja sinetron religi yang nuansanya menakut-nakuti penonton, mengesankan betapa Islam dekat dengan siksaan, seakan-akan taubat tidak mengubah apapun.
Kala itu Lorong Waktu memberi kita paket lengkap, komedi, drama, dan dakwah. Tak hanya itu, Lorong Waktu menjadi pemantik tren, hingga munculnya judul-judul lain seperti Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan, dan sebagainya.
Lorong Waktu kala itu menjadi kebahagiaan bagi sebagian masyarakat Indonesia, sambil menunggu kebahagiaan yang sesungguhnya di bulan suci Ramadan, yaitu adzan Maghrib.