“Orang yang suka tempe, enggak akan demen dikasih keju.” ucap Tompi, sutradara film Selesai (2021) dalam sebuah bincang-bincang di Instagram live. Itulah respons Tompi ketika seorang netizen menyatakan bahwa film Selesai dinilai buruk atau dikritik sekelompok orang.
Kalimat tersebut lantas dipenggal begitu saja, tersebar di media sosial. Sang sutradara lantas dihunjam tudingan sebagai pribadi anti kritik.
Waktu berlalu, wacana bergulir. Dalam sebuah kesempatan Tompi meluruskan maksud ucapannya tersebut. Tempe seyogyanya tak ia jadikan alat pembeda ‘kelas’.
“Tidak ada dalam kalimat saya yang mengatakan kalo tempe itu makanan orang susah,” ujar Tompi dalam wawancara program Viral Detikcom, Sabtu (28/8).
“Orang yang suka keju dikasih tempe juga nanya, ‘ini apaan?’,” lanjut Tompi.
Tompi meluruskan, ia tidak bermaksud mengidentikkan tempe dan keju dengan kelas sosial tertentu. Malah dalam kesempatan tersebut, Tompi melabeli Tempe sebagai makanan bergizi.
“Istri saya tuh dokter gizi klinik. Di chart, tempe itu adalah makanan yang harus setiap hari ada.” Tompi coba memaparkan. “Enggak ada urusan kaya miskin,”
“Jangan sampai ketidakmampuan lo mencerna apa yang gue sampaikan, menjadikan bahan kemarahan.” kata pria yang juga berprofesi sebagai penyanyi dan dokter bedah plastik itu.
Tompi pun jelas menyebut bahwa dalam konteks berkarya, khususnya film, ia bukanlah pribadi yang anti-kritik. Namun, ia hanya pilih kritik yang ingin direspons.
Kepada detikcom dalam wawancara itu, Tompi menceritakan bahwa ia membuka ruang diskusi dengan beberapa orang yang mengkritik film Selesai. Bahkan, Tompi mengaku sampai menghampiri sang pengkritik.
“Ada beberapa (kritikus) yang menurut saya cocok dari pemikirannya membuat saya bertanya-tanya, biasanya malah saya kontak orangnya.” ujarnya. “Kalo saya anti kritik, itu enggak mungkin kejadian.” tegasnya.
Ia memilih untuk tidak serta merta mendengarkan semua kritik. Bukan hanya ketika karya film itu sudah jadi dan tersedia di pasaran, dalam proses kreatif pun seperti itu. Tompi menyebut tidak pernah mau memikirkan pendapat orang lain. Baginya, berkarya harus merdeka.
Dalam kesempatan itu pula, Tompi menegaskan maksud dan tujuannya dalam membuat film Selesai. Ia membantah tudingan bahwa karyanya itu telah merendahkan perempuan.
“Tujuannya (film Selesai) bukan untuk merendahkan perempuan, tujuannya adalah membuat kita sebagai penonton berpikir,” tuturnya.
Ia menyebut hanya menampilkan cerita begitu adanya, dan membuat penonton bebas menilai apa yang ia tampilkan dalam film Selesai.
Tompi dan film Selesai jadi salah satu contoh bahwa film dan penontonnya adalah dua entitas yang saling bertukar pesan. Kritik film sesungguhnya bisa memicu adu wacana.
Film bebas bicara apa saja. Penonton atau kritikus juga tentu bebas bicara apa saja, bebas menilai. Kemudian, sang kreator pun bebas merespons kritik yang menerpanya, dan seterusnya.